"Selamat datang di era
kemunduran, pikiran tertutup jadi andalan."
-Seringai (Mengadili
Persepsi)
Bias konsep dan hukum
Undang-undang yang bersinggungan dengan praktik hukum di negara demokratis kita
tercinta ini, sering kali jadi penyebab lahirnya keinginan dan
praktik politik (p kecil) yang memasung kebebasan berekspresi dan kebebasan berargumentasi.
Suatu hari Benny Handoko (@benhan)
dimasukkan ke penjara karena kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap mantan
politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Misbakhun, melalui situs
jejaring sosial Twitter miliknya. Atau
di hari lain, Muhammad Arsyad, aktivis Garda Tipikor ditahan setelah menjalani
pemeriksaan terkait kasus pencemaran nama baik Nurdin Halid di status BlackBerry Messenger miliknya. Seakan tidak
mau kalah juga, para pekerja seni kita, “berkarya” via “tweetwar”nya, dan menjadi headline
infotainment (masih sebatas wacana ibu-ibu dan para pembantu), seperti kasus
Marisahaque Vs Adie MS, dan lain lainnya. Ada juga sikap Juru Bicara Front
Pembela Islam Munarman yang menyiramkan secangkir air ke wajah Guru Besar
Sosiolog Tamrin Akmal Tamagola (yang saya anggap telah menebar teror dan
ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat).
Okeeh, itu hanya contoh (tanpa
bermaksud membuat analogi yang berlebihan), saya tidak akan membahas lebih detail kasus-kasus yang terjadi diatas, karena
selain sedikit gak nyambung dengan judul, saya akan membahas tentang kasus Seringai
Vs Kepolisian (yaaa,kepolisian!!), yang kurang lebih temanya sama, (lagi-lagi) Pencemaran
Nama Baik dan Kebebasan Berekspresi (dan berargumentasi).
Begini Ceritanya Kawan….
Kasus bermula pada saat acara
pergelaran Bandung Youth Park, Helarfest
di Bandung, 30 Maret 2008 silam. Saat itu, tiga orang pengunjung yang memakai kaos Band 'Lencana' Seringai, dipaksa melepas kaos itu oleh petugas
kepolisian, lalu di giring ke kantor dan
terkena wajib lapor.
Kasus ini kemudian berkembang
lebih jauh. Pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2008, dua karyawan Riotic Distro di Jl. Sumbawa No. 61,
Bandung (distributor penjual kaos tersebut),
juga dijemput pihak kepolisian. Deden (supervisor) dan Subekti (penjaga toko),
dibawa ke Polres Bandung Tengah sekitar pukul 14.00 WIB. Selain itu, Santo
sebagai produsen kaos tersebut dari Love
Conspiracy juga turut dibawa ke Polres Bandung Tengah untuk dimintai
keterangan.
Hari Kamisnya, Arian (vokalis
Seringai) beserta manajer band, Andreas Wulur, mendatangi Polres Bandung Tengah,
untuk di hujani pertanyaan tim penyidik, seputar beredarnya kaos versi
'Lencana' yang diklaim menghina dan mencemarkan nama baik institusi kepolisian.
Emang Gimana sih Kaosnya?
Pada bagian depan
T-shirt putih yang merupakan
marchandise Seringai itu, terdapat
gambar karikatur dengan logo Tribrata kepolisian. Sementara di bagian belakang,
terdapat gambar tentang polisi yang membusuk seperti tengkorak, membawa
pentungan dan seperti zombie dan tertulis
"MELINDUNGI,DAN
MELAYANI SIAPA?" Menurut Arian, “ Sebagai latar belakang, desain
T-shirt ini diambil dari lagu Seringai
yg berjudul "Lencana". Gambarnya adalah reprensentasi dari seorang
Rotten,Decaying Cop, dia menghalau
sebuah stik besar. Gambar Aparat yg korup, dan sewenang-wenang saya gambarkan
Sebagai "Zombie", tidak mempunyai hati,tidak hidup, membusuk, dan
menakutkan”(serem yaaa,hehehee..).
 |
T-shirt "Lencana" Seringai |
Apa Sih Pencemaran Nama Baik? Kok Bisa Didekriminalisasikan?
Pencemaran nama baik adalah
istilah hukum yang digunakan untuk menuduh seseorang mengenai suatu fakta yang
tepat sehingga mencoreng nama baik. Fakta tersebut tercetak, disiarkan,
diucapkan atau dikomunikasikan dengan orang lain.
Untuk lebih jelasnya, silahkan
baca : Dekriminalisasi pasal pidana pencemaran
nama baik, oleh: International
Federation of Journalists, 2005, Pengarang: Emma Walters dan Alex Johnson (panjang
banget soalnya pembahasannya, saya hanya punya pdf version nya).
Terus Pembelaannya Gimana?
Kalau mau ngomongin hukum (kata Farhat
abbas,eeh salah..kata kawan saya anak Hukum maksudnya),
berdasarkan Pasal 28 tentang kebebasan berpendapat, terkait dengan pasal 28F
yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia”.
Prinsip-prinsip ini disusun
berdasarkan pemahaman bahwa kebebasan berekspresi dan kesetaraan merupakan
hak-hak dasar. Dengan kata lain, Undang-undang pencemaran nama baik hanya
sebagai penyeimbang dari Undang-undang kebebasan berpendapat (mungkin biar gak
kebablasan..). Karena pemidanaan pencemaran nama baik merupakan suatu pelecehan
terhadap kebebasan berbicara.
Bagaimana Hubungannya Dengan Kasus Seringai?
Saya kurang mengerti bagaimana detail kasus ini sebenarnya, tapi
intinya, kaos Seringai versi “lencana” tersebut, diklaim telah menghina dan
mencemarkan nama baik institusi kepolisian. Sehingga semua yang berhubungan
dengan kaos tersebut, harus berurusan dengan salah satu institusi paling arogan
di negri kita ini, mulai dari produsen,distributor hingga konsumen yang
rata-rata (mungkin, jika dilihat dari fanbase Seringai) masih di bawah umur.
So What!!??
Sebagai pertanyaaan pembuka, bagaimana
kita mendefinisikan terms “pencemaran
nama baik” tersebut?
Dalam Undang-undang yang
bersangkutan, tidak didefinisikan secara rinci apa saja yang bisa dianggap
“pencemaran nama baik”, artinya, apapun yang kita lakukan/tuliskan/gambarkan,
jika ada yang tidak suka, bisa saja memperkarakannya dengan pasal pencemaran
nama baik tersebut. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? orang-orang akan
takut mengemukakan pendapat dan jadi enggan berargumentasi karena bisa saja
argumentasi itu melahirkan “perasaan tidak senang” pada satu pihak (terlebih
institusi POLRI!), sehingga akan dirancang semacam “perangkap” yang menggunakan
pasal pencemaran nama baik tersebut. Selanjutnya kita akan menjadi sasaran empuk
bagi orang-orang yang tidak mampu berdebat dan mengambil jalan singkat dengan
jebakan-jebakan tersebut, apalagi orang-orang itu mempunyai kekuasaan “extra”. BANK BANK BANK!!!
Sekedar menolak lupa, di
Indonesia masih banyak Undang-undang yang tidak didefinisikan secara rinci, dan
bersifat “ambiguitas” (terutama Undang-undang pencemaran nama baik ini), sehingga
semuanya kembali ke masalah PERSEPSI, dan semua orang jelas bisa punya persepsi
berbeda. Dan biasanya (juga dalam kasus ini), sangat jelas bahwa persepsi yang
berkuasalah yang akan memegang kendali di permukaaan (ingat juga kasus Cecak Vs
Buaya).
Mungkin Pak Polisi marah namanya jadi tercemar atau merasa di fitnah..
Atas dasar apa? kita tidak usah
lagi membahas panjang lebar tentang “citra” polisi (membosankan!), jika itu
kalian anggap sebagai “pencemaran nama baik”. Nama yang baik hanya ada di buku
“Kumpulan Nama-Nama Bayi”, dan Keadilan hanyalah nama sebuah Partai. Tidak
untuk kalian. Arogansi tangan besi dan Intimidasi polisi bisa menjadi kunci
kemarahan kami. Uang damai di perempatan jalan sampai rekening gendut perwira kalian cukup menjadi pemicu
terpatrinya sikap sinis masyarakat awam. Bahkan ketersinggungan kolektif itu telah
menjelma menjadi semangat perlawanan.
Kaos tersebut hanyalah salah satu
dari ribuan bahkan jutaaan bentuk kritikan yang ditujukan buat bapak-bapak
berseragam cokelat ini. Itu belum termasuk wacana di warung kopi, mahasiswa
yang demonstrasi, sampai sumpah serapah para bikers korban tilang di
seluruh penjuru negri. Mungkin kalau semuanya mau di usut, penjara akan penuh
sesak dan yang selamat hanya tersisa anggota polisi,rekan penguasa, kolega dan
keluarganya.
Ayolaahhhh!!! Ini bukan zamannya
lagi penguasa “keep smile” yang
terpampang pada uang 50 ribuan, yang selain arogan, juga berhasil menciptakan
“dosa turunan”(pada kasus lain..), yang tak segan membumihanguskan semua yang
tidak sefaham dan tidak sama persepsinya dengan tiran (jadi inget lagi pasal subversif
pada zaman itu). Kita seharusnya bebas beraspirasi dan mengkritisi apa saja
yang kita anggap menyimpang, terlebih itu menyangkut urusan publik. Karena
semua hal yang berhubungan dengan publik, hak publik wajib tahu, termasuk
generasi muda kita yang mungkin jadi sasaran “politic education” nya Seringai.
Dear Bapak Polisi…
Ini adalah ekspresi kiritik, pesan
simbolik, juga pencerahan publik. Kalau semua kritik dan pengungkapan kebenaran
yang jelek dianggap sebagai penghinaan, apa nanti jadinya negara ini, ketika
ekspresi visual yang (bisa jadi) merupakan kritik membangun, disalahterjemahkan
menjadi bentuk hinaan. Mengutip kata Homicide,
“ mereduksi puisi hingga ke level yang paling fatal!”. Semua orang akan
sibuk memperkarakan satu dan yang lainnya, tanpa membicarakan (apalagi
menyelesaikan) sesuatu yang jauh
lebih penting, yaitu content kritikan
tersebut.
Kalian seharusnya bangga ada
sekumpulan anak muda (yang biasanya apatis) yang dengan rela mengkaji, memproduksi,
mendistribusikan hingga membeli seonggok T-shirt
yang berisi kritikan penuh perhatian kepada kalian. Dan untuk para aparat
kepolisian yang memang jujur (kalo ada..), seharusnya juga tidak akan menjadi masalah
dengan kritikan tersebut, tidak sesensitif anak perawan yang baru kena PMS J.
Dear Kawan-Kawan Semua Bangsa Tanah Dan Bangsa Air (hehehe...)
Merchandise sebuah Band, merupakan bentuk dari image band itu sendiri. So, dengan adanya kasus ini, jangan sampai kedepannya
terjadi pembunuhan karakter, pembatasan kreatifitas, pembungkaman untuk berekspresi
dan berargumentasi terlebih ketakutan dari tindakan represif kepolisian, di
negri yang katanya demokratis ini. Saya tidak tau ujung kasus Seringai tadi
seperti apa, juga tidak tau kedepannya jika ada kasus serupa. Orang bijak
pernah berbicara, “Tirani adalah musuh alami kebebasan berekspresi. Ketika
tirani yang kuat berkuasa, kebebasan berekspresi tidak akan punya ruang untuk
bertahan”. Maka bagi kalian para penantang tiran, tetaplah bebas berekspresi untuk
dunia yang damai.
Kritik mempunyai tujuan dan
harapan yang sederhana, yaitu sebuah kondisi yang lebih baik. Semestinya pihak yang
dikritik bisa menerima kritik tersebut dengan lapang dada. Yakinkan semua tetap
kondusif, bukan melakukan intimidasi dan tindakan represif. Fahami secara
detail terhadap pesan “sensitif" tersebut, dan sikapi secara arief dan
bijaksana. Karena katanya (lagi), kesadaran akan kebebasan berbicara dan
menerima kritik adalah elemen mutlak untuk sebuah kemajuan.
“Kebudayaan datang dari manusia, ungkapan dirinya, baik dalam hal cara
berfikir, cita rasa serta seleranya, yang tentunya bersifat fana dan relatif”
-Mangunwijaya (1995)
 |
Salah Satu Contoh Kekerasan Polisi (!) |
Tetap Kritis dan Tetap Berekspresi!!!!!!!