militerism

Saturday, November 23, 2013

Polisi langgar lampu merah tabrak pemotor, motornya ditilang!

Polisi lalu lintas yang mengendarai mobil patroli Gakkum (Penegakan Hukum) menabrak pengendara motor dan ibu pejalan kaki di perempatan Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Disinyalir, polisi tersebut melaju kencang untuk menghindari lampu merah.

"Lampu lalu lintas di perempatan Soekarno-Hatta dari Jalan Gatot Subroto sudah warna kuning, ada sepeda motor berjalan pelan tetapi mobil polisi yang ada di belakang motor tersebut malah melaju kencang. Akibatnya, mobil polisi itu menabrak pengendara motor dan ibu pejalan kaki yang hendak menyeberang. Saya foto karena saya ada di belakang mobil polisi itu," ujar saksi Widdy Mochammad kepada merdeka.com, Jumat (22/11).

Widdy menuturkan, akibat tabrakan tersebut, pemotor tersungkur dan ibu pejalan kaki terjerembab. Polisi yang mengendarai mobil itu, lanjut dia, turun dan membawa ibu tersebut ke pinggir.

"Saat pemotor mengangkat motor, ternyata kuncinya dibawa oleh polisi penabrak tersebut. Malah pemotor yang taat lalu lintas itu disuruh ke pospol dekat situ untuk ditilang," jelas dia.

Akibat kejadian tersebut, arus kendaraan di lokasi kejadian sempat macet. "Karena takut menambah kemacetan, kemudian saya melanjutkan perjalanan. Terakhir saya lihat, ibu pejalan kaki masih berada di pinggir jalan," ujar dia.

Seperti diketahui, pengendara hendaknya memperlambat laju kendaraannya saat lampu lalu lintas berwarna kuning. Bukan sebaliknya, malah memacu kendaraannya. Karena bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Polisi tabrak pemotor dan pejalan kaki. ©2013


Reporter : Dedi Rahmadi | Jumat, 22 November 2013 14:21
Sumber   : merdeka.com

Sunday, November 17, 2013

Antara Seringai, Polisi, Dan Kebebasan Berekspresi


"Selamat datang di era kemunduran, pikiran tertutup jadi andalan."

-Seringai  (Mengadili Persepsi)


Bias konsep dan hukum Undang-undang yang bersinggungan dengan praktik hukum di negara demokratis kita tercinta ini, sering kali jadi penyebab lahirnya keinginan dan praktik politik (p kecil) yang memasung kebebasan berekspresi dan kebebasan berargumentasi.

Suatu hari Benny Handoko (@benhan) dimasukkan ke penjara karena kasus dugaan pencemaran nama baik terhadap mantan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Misbakhun, melalui situs jejaring sosial Twitter miliknya. Atau di hari lain, Muhammad Arsyad, aktivis Garda Tipikor ditahan setelah menjalani pemeriksaan terkait kasus pencemaran nama baik Nurdin Halid di status BlackBerry Messenger miliknya. Seakan tidak mau kalah juga, para pekerja seni kita, “berkarya” viatweetwar”nya, dan  menjadi headline infotainment (masih sebatas wacana ibu-ibu dan para pembantu), seperti kasus Marisahaque Vs Adie MS, dan lain lainnya. Ada juga sikap Juru Bicara Front Pembela Islam Munarman yang menyiramkan secangkir air ke wajah Guru Besar Sosiolog Tamrin Akmal Tamagola (yang saya anggap telah menebar teror dan ancaman terhadap demokrasi dan kebebasan berpendapat).

Okeeh, itu hanya contoh (tanpa bermaksud membuat analogi yang berlebihan), saya tidak akan membahas lebih detail kasus-kasus yang terjadi diatas, karena selain sedikit gak nyambung dengan judul, saya akan membahas tentang kasus Seringai Vs Kepolisian (yaaa,kepolisian!!), yang kurang lebih temanya sama, (lagi-lagi) Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Berekspresi (dan berargumentasi).


Begini Ceritanya Kawan….

Kasus bermula pada saat acara pergelaran Bandung Youth Park, Helarfest di Bandung, 30 Maret 2008 silam. Saat itu, tiga orang pengunjung yang memakai kaos Band 'Lencana' Seringai, dipaksa melepas kaos itu oleh petugas kepolisian, lalu di giring ke kantor  dan terkena wajib lapor.

Kasus ini kemudian berkembang lebih jauh. Pada hari Selasa tanggal 9 Agustus 2008, dua karyawan Riotic Distro di Jl. Sumbawa No. 61, Bandung (distributor penjual kaos tersebut), juga dijemput pihak kepolisian. Deden (supervisor) dan Subekti (penjaga toko), dibawa ke Polres Bandung Tengah sekitar pukul 14.00 WIB. Selain itu, Santo sebagai produsen kaos tersebut dari Love Conspiracy juga turut dibawa ke Polres Bandung Tengah untuk dimintai keterangan.

Hari Kamisnya, Arian (vokalis Seringai) beserta manajer band, Andreas Wulur, mendatangi Polres Bandung Tengah, untuk di hujani pertanyaan tim penyidik, seputar beredarnya kaos versi 'Lencana' yang diklaim menghina dan mencemarkan nama baik institusi kepolisian.


Emang Gimana sih Kaosnya?

Pada bagian depan T-shirt putih yang merupakan marchandise Seringai itu, terdapat gambar karikatur dengan logo Tribrata kepolisian. Sementara di bagian belakang, terdapat gambar tentang polisi yang membusuk seperti tengkorak, membawa pentungan dan seperti zombie dan tertulis "MELINDUNGI,DAN MELAYANI SIAPA?" Menurut Arian, “ Sebagai latar belakang, desain T-shirt ini diambil dari lagu Seringai yg berjudul "Lencana". Gambarnya adalah reprensentasi dari seorang Rotten,Decaying Cop, dia menghalau sebuah stik besar. Gambar Aparat yg korup, dan sewenang-wenang saya gambarkan Sebagai "Zombie", tidak mempunyai hati,tidak hidup, membusuk, dan menakutkan”(serem yaaa,hehehee..).

T-shirt "Lencana" Seringai


Apa Sih Pencemaran Nama Baik? Kok Bisa Didekriminalisasikan?

Pencemaran nama baik adalah istilah hukum yang digunakan untuk menuduh seseorang mengenai suatu fakta yang tepat sehingga mencoreng nama baik. Fakta tersebut tercetak, disiarkan, diucapkan atau dikomunikasikan dengan orang lain.

Untuk lebih jelasnya, silahkan baca : Dekriminalisasi pasal pidana pencemaran nama baik, oleh: International Federation of Journalists, 2005, Pengarang: Emma Walters dan Alex Johnson (panjang banget soalnya pembahasannya, saya hanya punya pdf version nya).


Terus Pembelaannya Gimana?

Kalau mau ngomongin hukum (kata Farhat abbas,eeh salah..kata kawan saya anak Hukum maksudnya), berdasarkan Pasal 28 tentang kebebasan berpendapat, terkait dengan pasal 28F yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Prinsip-prinsip ini disusun berdasarkan pemahaman bahwa kebebasan berekspresi dan kesetaraan merupakan hak-hak dasar. Dengan kata lain, Undang-undang pencemaran nama baik hanya sebagai penyeimbang dari Undang-undang kebebasan berpendapat (mungkin biar gak kebablasan..). Karena pemidanaan pencemaran nama baik merupakan suatu pelecehan terhadap kebebasan berbicara.


Bagaimana Hubungannya Dengan Kasus Seringai?

Saya kurang mengerti bagaimana detail kasus ini sebenarnya, tapi intinya, kaos Seringai versi “lencana” tersebut, diklaim telah menghina dan mencemarkan nama baik institusi kepolisian. Sehingga semua yang berhubungan dengan kaos tersebut, harus berurusan dengan salah satu institusi paling arogan di negri kita ini, mulai dari produsen,distributor hingga konsumen yang rata-rata (mungkin, jika dilihat dari fanbase Seringai) masih di bawah umur. 


So What!!??

Sebagai pertanyaaan pembuka, bagaimana kita mendefinisikan terms “pencemaran nama baik” tersebut?

Dalam Undang-undang yang bersangkutan, tidak didefinisikan secara rinci apa saja yang bisa dianggap “pencemaran nama baik”, artinya, apapun yang kita lakukan/tuliskan/gambarkan, jika ada yang tidak suka, bisa saja memperkarakannya dengan pasal pencemaran nama baik tersebut. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya? orang-orang akan takut mengemukakan pendapat dan jadi enggan berargumentasi karena bisa saja argumentasi itu melahirkan “perasaan tidak senang” pada satu pihak (terlebih institusi POLRI!), sehingga akan dirancang semacam “perangkap” yang menggunakan pasal pencemaran nama baik tersebut. Selanjutnya kita akan menjadi sasaran empuk bagi orang-orang yang tidak mampu berdebat dan mengambil jalan singkat dengan jebakan-jebakan tersebut, apalagi orang-orang itu mempunyai kekuasaan “extra”. BANK BANK BANK!!! 

Sekedar menolak lupa, di Indonesia masih banyak Undang-undang yang tidak didefinisikan secara rinci, dan bersifat “ambiguitas” (terutama Undang-undang pencemaran nama baik ini), sehingga semuanya kembali ke masalah PERSEPSI, dan semua orang jelas bisa punya persepsi berbeda. Dan biasanya (juga dalam kasus ini), sangat jelas bahwa persepsi yang berkuasalah yang akan memegang kendali di permukaaan (ingat juga kasus Cecak Vs Buaya).


Mungkin Pak Polisi marah namanya jadi tercemar atau merasa di fitnah..

Atas dasar apa? kita tidak usah lagi membahas panjang lebar tentang “citra” polisi (membosankan!), jika itu kalian anggap sebagai “pencemaran nama baik”. Nama yang baik hanya ada di buku “Kumpulan Nama-Nama Bayi”, dan Keadilan hanyalah nama sebuah Partai. Tidak untuk kalian. Arogansi tangan besi dan Intimidasi polisi bisa menjadi kunci kemarahan kami. Uang damai di perempatan jalan sampai rekening gendut  perwira kalian cukup menjadi pemicu terpatrinya sikap sinis masyarakat awam. Bahkan ketersinggungan kolektif itu telah menjelma menjadi semangat perlawanan.

Kaos tersebut hanyalah salah satu dari ribuan bahkan jutaaan bentuk kritikan yang ditujukan buat bapak-bapak berseragam cokelat ini. Itu belum termasuk wacana di warung kopi, mahasiswa yang demonstrasi, sampai sumpah serapah para bikers korban tilang di seluruh penjuru negri. Mungkin kalau semuanya mau di usut, penjara akan penuh sesak dan yang selamat hanya tersisa anggota polisi,rekan penguasa, kolega dan keluarganya.

Ayolaahhhh!!! Ini bukan zamannya lagi penguasa “keep smile” yang terpampang pada uang 50 ribuan, yang selain arogan, juga berhasil menciptakan “dosa turunan”(pada kasus lain..), yang tak segan membumihanguskan semua yang tidak sefaham dan tidak sama persepsinya dengan tiran (jadi inget lagi pasal subversif pada zaman itu). Kita seharusnya bebas beraspirasi dan mengkritisi apa saja yang kita anggap menyimpang, terlebih itu menyangkut urusan publik. Karena semua hal yang berhubungan dengan publik, hak publik wajib tahu, termasuk generasi muda kita yang mungkin jadi sasaran “politic education” nya Seringai.


Dear Bapak Polisi…

Ini adalah ekspresi kiritik, pesan simbolik, juga pencerahan publik. Kalau semua kritik dan pengungkapan kebenaran yang jelek dianggap sebagai penghinaan, apa nanti jadinya negara ini, ketika ekspresi visual yang (bisa jadi) merupakan kritik membangun, disalahterjemahkan menjadi bentuk hinaan. Mengutip kata Homicide, “ mereduksi puisi hingga ke level yang paling fatal!”. Semua orang akan sibuk memperkarakan satu dan yang lainnya, tanpa membicarakan (apalagi menyelesaikan) sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu content kritikan tersebut.

Kalian seharusnya bangga ada sekumpulan anak muda (yang biasanya apatis) yang dengan rela mengkaji, memproduksi, mendistribusikan hingga membeli seonggok T-shirt yang berisi kritikan penuh perhatian kepada kalian. Dan untuk para aparat kepolisian yang memang jujur (kalo ada..), seharusnya juga tidak akan menjadi masalah dengan kritikan tersebut, tidak sesensitif anak perawan yang baru kena PMS J.


Dear Kawan-Kawan Semua Bangsa Tanah Dan Bangsa Air (hehehe...)

Merchandise sebuah Band, merupakan bentuk dari image band itu sendiri. So, dengan adanya kasus ini, jangan sampai kedepannya terjadi pembunuhan karakter, pembatasan kreatifitas, pembungkaman untuk berekspresi dan berargumentasi terlebih ketakutan dari tindakan represif kepolisian, di negri yang katanya demokratis ini. Saya tidak tau ujung kasus Seringai tadi seperti apa, juga tidak tau kedepannya jika ada kasus serupa. Orang bijak pernah berbicara, “Tirani adalah musuh alami kebebasan berekspresi. Ketika tirani yang kuat berkuasa, kebebasan berekspresi tidak akan punya ruang untuk bertahan”. Maka bagi kalian para penantang tiran, tetaplah bebas berekspresi untuk dunia yang damai.

Kritik mempunyai tujuan dan harapan yang sederhana, yaitu sebuah kondisi yang lebih baik. Semestinya pihak yang dikritik bisa menerima kritik tersebut dengan lapang dada. Yakinkan semua tetap kondusif, bukan melakukan intimidasi dan tindakan represif. Fahami secara detail terhadap pesan “sensitif" tersebut, dan sikapi secara arief dan bijaksana. Karena katanya (lagi), kesadaran akan kebebasan berbicara dan menerima kritik adalah elemen mutlak untuk sebuah kemajuan.

“Kebudayaan datang dari manusia, ungkapan dirinya, baik dalam hal cara berfikir, cita rasa serta seleranya, yang tentunya bersifat fana dan relatif”
-Mangunwijaya (1995)


Salah Satu Contoh Kekerasan Polisi (!)

Tetap Kritis dan Tetap Berekspresi!!!!!!!


Tuesday, March 19, 2013

Film Tropa de Elite Dan Kepolisian

“Tidak ada yang lebih totaliter daripada gabungan antara saudagar, preman dan aparat “

-Homicide (R.I.P).





Sekilas tentang Film Tropa de Elite.


Film berjudul Tropa de Elite menceritakan kawasan kota Rio de Janeiro, Brazil Sekitar Tahun 1997. Merupakan sebuah kota padat penduduk yang memiliki lebih dari 700 perumahan kumuh, dan  menjadikan Pavela (hunian kumuh) yang didominasi penduduk miskin, bandit dan penjahat bersenjata, menjadi sarang bagi para gengster narkoba menjalankan aktivitasnya. Mereka membawa AR15,Pisto-UZI, HK dan banyak lagi dalam aktifitasnya sehari - hari, yang mana diseluruh dunia, senjata ini digunakan untuk berperang.

Sebuah kebodohan masyarakat Brazil, dengan percaya bahwa dalam sebuah kota seperti ini, polisi akan datang ke daerah kumuh, hanya untuk menegakkan hukum. Yang terjadi Justru sebaliknya, para polisi tersebut malah meng"endorse" dan mensponsori mereka. Mereka berkoalisi untuk kepentingan bisnis semata. Hingga dapat dipastikan para polisi tersebut datang kesini hanya untuk mengambil gaji mereka. Salah satunya transaksi senjata illegal.

Kejadian diatas hanya sebagian kecil dari ulah polisi di negri Samba tersebut. Mereka sudah terlatih dan terbiasa bermental korup, hingga sangat kronis dan menular. Tersistem dan terorganisir rapih, dari atasan hingga bawahan. Berbagai penyimpangan sering kali terjadi disana, mulai dari ulah oknum polisi yang  membekingi dan jasa keamanan tempat - tempat hiburan seperti prostitusi, klub malam, striptease,tempat aborsi, ataupun kelambatan-kelambatan mereka saat bertugas dan kemampuan yang rendah dalam administrasi, sampai menunda - nunda kasus hingga menumpuk. Hingga masalah sepele seperti pungutan liar, penempatan tugas yang tidak layak bagi posisi jujur atau yang paling bodoh misalnya mengganti sparepart mobil inventaris yang baru dengan sparepart yang lama. Semuanya menjadi  sebuah pemandangan sehari hari disana.

Pemerintah Brazil sebenarnya juga tidak tinggal diam, mereka membuat "pasukan khusus" yang terdiri dari para anggota perwira polisi itu sendiri, yang terpilih juga terbaik di bidangnya. Pasukan dikenal dengan nama BOPE (Batalhão de Operações Policiais Especiai), atau sebuah batalion khusus kejahatan yang berfungsi menyelesaikan kasus yang sudah tidak bisa di bereskan oleh polisi "biasa", atau bahkan kasus yang dilakukan para polisi itu sendiri. Semacam tim SWAT nya Brazil. Yang dengan seragam hitam berlogo pedang dan tengkorak kebanggaannya ini,siap memangsa para outlaw yang sangat meresahkan, Seperti di salah satu soundtrack lirik di awal Film ini, “Elite squad, a hard nut to crack ‘they catch everyone, and they’ll also catch you”. (Lagunya enak, tapi saya tidak berhasil melacak penyanyinya di Mr Google)

Tim BOPE dipimpin oleh seorang Kapten berkharisma bernama Roberto Nascimento (Wagner Moura). Seorang polisi tangguh, berintegritas tinggi, jujur dan berani yang mempunyai motto "mission assigned is mission accomplished". Sosok yang sangat ideal sebagai seorang Kapten. Sampai suatu saat, Kapten Nascimento memutuskan untuk segera pensiun dini. Selain karena dia juga sudah merasa bosan dan sudah terlalu lama berkarier, ia juga mempunyai masalah penyakit over tempramen dan gangguan psikologis yang dideritanya, akibat stress, depresi, dan tekanan dalam pekerjaannya sebagai petinggi polisi jujur, yang mungkin akan dapat mengganggu kinerjanya sebagai polisi profesional. Ditambah lagi keluhan istrinya yang sedang mengandung calon anak pertamanya. Karena menurut nya, "Dalam perang selalu ada pengorbanan, tapi ketika itu terlalu berharga,sudah saatnya kita mengakhiri nya", dan itu yang dilakukan dia sekarang.
Dilemanya, ada tugas besar yang harus diselesaikan oleh Tim BOPE sendiri pada saat itu, terkait kedatangan Sri Paus ( Petinggi uman Katholik) ke kota Rio de Janeiro, tepatnya di pemukiman kumuh yang jelas merupakan zona perang. Tugas Tim BOPE sendiri yaitu mensterilkan zona - zona berbahaya tersebut agar tidak mengancam keamanan Sri Paus.

Sebagai salah satu bukti tanggung jawabnya, Kapten Nascimento tidak mau pergi begitu saja meninggalkan  tugas, sebelum ada orang yang tepat menggantikan posisinya. Lagi - lagi itu bukan perkara mudah, ditengah - tengah situasi kacau yang menggerogoti tubuh kepolisian pada saat itu.Sistem yang korup. Yaaa, Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Sebenarnya menjadi polisi disana, mempunyai dua pilihan, antara korup seperti yang lain, atau memerangi mereka, seperti Kapten Nascimento memilih opsi ke dua. Selain itu juga sebenarnya masih ada minoritas polisi - polisi lain yang sama prinsip dan pemikirannya dengan Kapten Nascimento, diantaranya dua orang  polisi baru, idealis, jujur dan berani bernama Neto Gouveia (Caio Junqueira) dan seorang kulit hitam, bernama André Matias (André Ramiro). Bedanya Neto dan Matias tidak punya cukup kuasa untuk memerangi mereka dengan keterbatasannya,karena selain mereka hanyalah polisi baru yang berpangkat rendah, terkadang  minoritas yang enggan berkompromi juga hanya akan jadi bulan - bulanan mayoritas. Bahkan kejujuran dan keberanian mereka seringkali hanya menjadi boomerang buat mereka sendiri.

Sampai suatu ketika, dalam sebuah keadaan yang kebetulan dan tidak terduga, Matias dan Neto  dipertemukan dengan Kapten Nascimento, sehingga ia pun tertarik untuk menjadi salah satu punggawa "Tim Khusus" BOPE. Menjadi anggota BOPE tidaklah mudah, mereka harus mengikuti dulu "audisi" pelatihan yang bertujuan untuk memilih, menyeleksi, sekaligus membentuk karakter seorang anggota TIM BEPO, agar tidak sama dengan karakter polisi "biasa" lainnya disana. Mereka dilatih strategi, berperang dan lain - lain. Sangat kejam, disiplin dan melelahkan. Salah satu yang menarik pada bagian ini adalah bagaimana ketika Matias tertidur saat mendengarkan "ceramah" dari sang Kapten, lalu sang Kapten mendekati Matias dan memberikan sebuah granat aktif kepadanya sambil menarik pin granat tersebut,lalu sang Kapten berkata kepada Matias, “jangan sampai kamu lepaskan granat ini, karena jika kamu lepaskan, maka kamu akan mati, teman-temanmu akan mati, dan aku pun akan terbunuh olehmu”, sebuah cara usir ngantuk yang mujarab yang mungkin cocok di praktekan di gedung Senayan, buat para "wakil" kita yang suka mengantuk saat sidang. Berbekal nasib, kejujuran dan keberanian, Neto dan Matias pun akhirnya berhasil menjadi anggota Tim BEPO.

Di Brasil, seorang pria kulit hitam biasanya miskin dan tidak memiliki banyak kesempatan, tapi lain hal dengan Matias, Selain anggota Polisi, Matias juga tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas terbaik di Rio, karena cita - cita nya menjadi pengacara (naïf!). Menurutnya, polisi dan pengacara mempunyai misi yang sama sebagai penegak hukum. Matias juga aktif dalam kegiatan sosial, salah satunya dia sering terlihat "nongkrong" bersama "teman" wanitanya di sebuah LSM di salah satu sudut Pavela Kota Rio de Janeiro, yang notabene LSM tersebut selain di sponsori pemerintah setempat dan mahasiswa kaya, juga di sponsori oleh salah satu petinggi gangster narkoba di kawasan tersebut bernama Baiano yang jelas - jelas benci sekali polisi, apalagi polisi jujur seperti Matias. Makanya Matias selalu menyembunyikan identitas dirinya sebagai anggota polisi.

Sampai akhirnya identitas nyapun terbongkar, dan Matias menjadi salah satu Target Operasi para gengster pimpinan Baiano tersebut, termasuk aktifis - aktifis LSM yang lain yang diduga telah menghianatinya, ikut di bunuh, walaupun sebenarnya mereka tidak tau apa - apa. Hingga akhirnya Baiano mendapatkan kesempatan untuk membunuh Matias,  tetapi salah sasaran, sehingga Neto, teman satu Tim di BOPE sekaligus sahabat Matias, menjadi korban hingga meninggal. Suatu kesalahan yang fatal, mengingat Undang - undang disana kalo membunuh anggota BOPE hukumannya adalah hukuman mati, dan ini berlaku juga buat Baiano, yang pada akhirnya mati setelah sebelumnya sempat buron dan menjadi incaran para anggota BOPE. Ia pun mati bukan karena persidangan Undang - undang hukuman mati, tapi mati di tangan Matias sendiri yang marah besar karena sahabatnya terbunuh. THE END.



Judul        : Tropa de Elite (The Elite Squad)
Tahun       : 2007
Durasi       : 120 menit
Genre       : Drama, Action & Adventure
Sutradara  : Jose Padilha
Produser   : José Padilha, Marcos Prado
Penulis       : Bráulio Mantovani, José Padilha, Rodrigo Pimentel
Pemain       : Wagner Moura, Caio Junqueira, André Ramiro, Maria
                    Ribeiro, Fernand Machado, Fernanda De Freitas


Sekedar Review (gak bermutu)

Secara garis besar, Film yang terinspirasi dari sebuah buku berjudul Elite da Tropa ini, memang sangat menarik untuk ditonton, terutama buat para penggemar Film bertema Drama, Action, ataupun Adventure. Makanya tidak heran kalo Film ini juga menyabet banyak penghargaan, salah satunya adalah Peraih Golden Bear untuk film terbaik. Juga Sebagai catatan, penulis naskah film ini yaitu Rodrigo Pimentel ternyata sempat menjadi anggota BOPE alias mantan polisi, selama dua belas tahun, makanya di film ini terasa sangat detail cerita dan kejadian - kejadian yang di suguhkan, termasuk transparansi semua tentang kepolisian disana, yang konon kata sang Sutradara Jose Padilha asal brazil ini, banyak kisah yang memang di ambil dari "true story". makanya Film ini layak di di click logo "like this", Terlepas dari tendensi apapun dari sang penulis ataupun Sutradaranya. Walaupun, seperti film - film komersil lainnya, Secara garis besar, acting, adegan action dan efek, memang terlihat sederhana , juga  dari sisi benang merah cerita hanya sebuah kisah heroik biasa, dimana protagonis selalu menang mengalahkan antagonis. ( Dilihat dari penulis yang memang cuman sekedar penikmat bukan pengamat film).

Atau mungkin, ini hanya sekedar Film propagandha cara mempromosikan citra Kepolisian disana? gak tau juga, tapi misalpun benar, ini lumayan cukup efektif, jika dibandingkan cara - cara promosi ala agen marketing polisi India Briptu Norman, aksi flyer photo polisi ganteng (gak tau namanya) atau pun Briptu Eka si Polwan cantik!(kalo ini baru inget namnanya  :)), yang saya pikir, ada sedikit banyaknya “campur tangan” dari institusi yang berkaitan. Tapi terlepas dari semuanya, masih banyak yang menarik di film ini yang mungkin tidak akan didapat di Film - Film dengan genre yang sama lainnya.


“Tidak ada yang lebih totaliter daripada gabungan antara saudagar, preman dan aparat “, Homicide (R.I.P).


Kutipan lirik dari salah satu lagu diatas mungkin sangat mewakili tentang Film Tropa de Elite.  Walaupun mungkin sosok "saudagar"nya tidak di jelaskan  secara langsung,  namun ada beberapa bagian di film ini yang menceritakannya, tapi ini jelas sangat berpengaruh, mengingat polisi merupakan salah satu perpanjangan tangan dari pemilik modal. Juga mengisahkan aksi koalisi para preman dengan aparat kepolisian, atau tentang kinerja kepolisian yang cenderung koruktif,bekerja asal - asalan bahkan sampai melakukan tindakan kriminal.

Tindak kriminal para "punggawa" kepolisian disana juga ternyata sudah menjarah ke berbagai bidang kehidupan masyarakat sehari - hari, mulai dari kasus kelas teri sampai kelas kakap. Mulai dari tukang palak, uang pelicin sampai penyelundupan senjata.  Mungkin kasus - kasus seperti pembuatan SIM, STNK, BPKB, polisi noban, perut gendut sampai rekening gendut atau kasus kakap seperti alat simulator SIM (yang melibatkan Inspektur Jenderal Kepolisian), juga ada ya disana, who knows??!!

Salah satu yang paling menarik di Film ini adalah  masalah pencitraan polisi. Dimana masyarakat (termasuk mahasiswa) disana sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya Institusi Kepolisian. Ini bukan tanpa alasan, polisi yang seharusnya mengayomi, melayani, serta melindungi masyarakat. justru malah yang terjadi sebaliknya. Meresahkan masyarakat. Karena masyarakat sudah tidak merasakan manfa’at dan fungsi dari keberadaan polisi itu sendiri. yang bahkan dalam kenyataannya bertolak belakang bahkan jauh lebih parah. (mungkin kalo ini film Indonesia, lagu “mosi tidak percaya” efek rumah kaca, cocok buat soundtrack pembuka di awal film,hehe..).

Sebagai contoh disini diceritakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sosial, yang berada di tengah - tengah hunian kumuh salah satu sudut Pavela Kota Rio de Janeiro .  Yang mana ironisnya, LSM sosial tersebut juga di sponsori oleh salah satu organisasi preman (gengster narkoba). Maka tak heran jika masyarakat di kawasan tersebut lebih bisa menerima keberadaan para preman dibanding aparat kepolisian, terlepas dari efek yang di timbulkan oleh preman tersebut (Biasanya merupakan sebuah penyamaran lembaga donor atau pun aksi money loundry , dan saya pikir itu cukup kreatif dan efektif). Ini mungkin memang sebuah contoh kasus yang  buruk, tapi dibalik itu, ada sebuah pembelajaran sebagai tugas besar buat kepolisian disana, atau mungkin di dunia, yaitu  untuk bisa lebih dekat dan mengambil hati masyarakat, agar tidak ada lagi persepsi dan asumsi miring yang berkembang di tengah - tengah masyarakat, sehingga tidak akan ada "pihak" tertentu yang memanfaatkan kesempatan ini.

Satu yang menarik lagi lainnya adalah tentang suatu “sistem” yang ada di tubuh kepolisian di sana pada saat itu. Sistem koruktif yang sudah melembaga. “Sistem” yang memang terkoordinasi rapih mulai dari atasan sampai bawahan, dari Jendral sampai Kopral, dari yang dangkal sampai yang fatal. “Sistem” Ini semacam "lumbung dosa turunan", yang memang sulit orang “biasa” untuk menghindarinya apalagi mengubahnya. Hanya orang “luar biasa” saja yang bisa menghindarinya seperti tokoh Kapten Nascimento ataupun Matias, Semoga ini bisa terjadi juga di kehidupan nyata, bukan sekedar ceria fiksi.

Kejadian seperti film diatas memang bisa terjadi pada siapa saja dan di Negara mana saja termasuk di Indonesia. Dan Ini sebenarnya bukan hanya “sentilan” untuk di kepolisian saja sebagai satu unit bergengsi yang ada di struktur pemerintahan, tapi bisa di lembaga - lembaga atau unit pemerintah lainnya yang memang sudah ter"sistem" seperti itu. Bahkan katanya, “ sistem” itu bisa membuat orang dikucilkan, di gilas, bahkan mati  jika orang itu tidak mau berkompromi dengan “ sistem” tersebut.  Itu juga katanya yaaa, karena untungnya saya tidak berada di dalam sistem tersebut, kalo mengalami dampaknya mungkin iya. Seperti  ada nasihat bijak yang mengatakan, “Jika kalian tak pernah bermasalah dengan polisi, ada dua kemungkinan, yang pertama kalian tak pernah hidup di Indonesia atau kalian bagian dari mereka dan diuntungkan oleh eksistensi mereka”. Sekali lagi, “KATANYA”.

Ngomongin masalah sistem, Ini  berhubungan juga dengan yang namanya “mental”, yang memang sudah dilatih dari atasn – atasan nya sehingga secaara otomatis menekan kebawah. Atau juga “warisan” dari zaman penguasa – penguasa dulu, misalnya saja seperti zaman “kakek” yang poto senyum manisnya terpampang pada profile ficture uang 50 ribuan zaman dulu. Tapi disini tidak dibahas lebih jauh masalah itu, karena itu akan sangat panjang sekali, sama panjang nya dengan list kasus – kasus yang dilakukan aparat kepolisian disana. Disana yaa, bukan disini ;).

Atau mungkin Juga masalah moral seperti kejujuran yang sudah seharusnya jadi modal utama mereka sebagai “pelayan” masyarakat, tapi memang sangat sulit dilakukan oleh seorang “manusia biasa” ditengah – tengah  sistem yang memang permanen seperti itu  , yang  walaupun kadang saya lupa jika mereka juga manusia. Bahkan Almarhum Gusdur pernah berkelakar,  “Hanya tiga polisi yang jujur, yakni patung polisi , polisi tidur, dan Pak Hoegeng” , untuk nama yang terakhir, saya juga tidak begitu yakin, karena selain dia juga manusia, saya juga bukan pengamat dan tidak tertarik dengan tokoh – tokoh kepolisian.

Jadi intinya Sebagai solusi bagaimana cara kita agar tidak terjerumus kedalam “sistim” yang seperti itu yaitu dengan cara kita tidak masuk ke dalam "sistem" itu.Titik. Untuk yang sudah terlanjur, ya sudahlah nikmati aja, dan selamat bersenang – senang!  

Kembali lagi ke masalah film Tropa de Elite, mungkin memang cerita diatas hanya sekedar rekayasa film semata, tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Mungkin bisa jauh lebih parah dari itu,lho!. Satu hal yang perlu di garis bawah,  bahwa secara tidak langsung, sistem korup ini adalah penyebab utama mengapa timbul ketidakprofesionalan dalam etos bekerja, dan ini akan berlangsung terus secara turun temurun sampai ke generasi berikutnya.  dan inget baik – baik, bahwa fungsi  Polisi seharusnya SEBAGAI PEMBERI PELAYANAN MASYARAKAT, BUKAN DILAYANI MASYARAKAT.

Sebagai penutup, marilah kita berdo’a agar Bapak – bapak kepolisian  di Negara ini  dijauhkan dari sifat – sifat yang sedemikian.

Sekian dan Terimakasih.