militerism

Sunday, September 28, 2014

Tawuran TNI vs Polisi


DI TENGAH-tengah heboh disahkannya UU Pilkada oleh DPR pada 26 September 2014, kita tak boleh lupa bahwa beberapa hari sebelumnya, terjadi tawuran TNI dan Polisi di Batam. Tawuran ini menyebabkan tertembaknya empat personil TNI oleh Polisi. Dalam tawuran ini tampaknya skor kemenangan 1:0 ada pada polisi, yang sebelumnya selalu dipecundangi oleh TNI dalam berbagai ajang tawuran sebelumnya.

Tentu saja tawuran kedua institusi bersenjata ini bukan hal baru. Dari tahun ke tahun setelah tumbangnya Orde Baru, polisi dan tentara sudah kerap ‘bertempur’. Dan seperti biasa, tawuran ini diselesaikan begitu saja di tingkat panglima untuk kemudian muncul kembali tawuran berikutnya. Tidak ada penyelesaian hukum yang terbuka kepada publik (seperti layaknya tawuran anak SMA, atau antar mahasiswa), sehingga publik bisa mengetahui mengapa kedua lembaga super power di Indonesia ini bisa tawuran. Publik pun sepertinya sudah maklum, kalau Polisi dan TNI tawuran, ya tawuran saja, walaupun dalam tawuran itu seringkali jatuh korban di pihak sipil akibat salah tembak peluru nyasar, misalnya.

Kembali ke Batam. Kenapa terjadi tawuran antara Polisi dan TNI? Jangan tanya pada keduanya. Jangan tanyakan pula, siapa yang salah. Berita samar-sama di koran berbahasa Inggris menyebutkan bahwa pemicu tawuran ini sebenarnya adalah konflik ekonomi yang berkaitan dengan kelangkaan dan peredaran BBM liar di pasaran. Penggerebekan yang dilakukan polisi terhadap lokasi yang diduga menimbun BBM, ternyata ada dalam wilayah ‘perlindungan’ TNI.

Jika soalnya adalah rebutan kapling kepentingan ekonomi, maka tawuran antara Polisi vs TNI ini tidak akan pernah selesai di tingkat panglima. Soalnya berhulu pada sistem dan ideologi pertahanan nasional kita yang dianut TNI. Dengan ideologi Perang Semestanya, yang secara kelembagaan diwujudkan melalui keberadaan struktur komando teritorial TNI dari pusat hingga ke desa-desa, maka TNI secara politik keamanan ‘merasa’ terpanggil dan berhak untuk turut campur dalam urusan publik sehari-hari. Urusan publik ini bisa berupa urusan politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum. Dengan kekuasaan dan kewenanangan istimewanya dalam penggunaan senjata, maka TNI sebenarnya berada di atas dan karenanya kebal hukum. Kasus penembakan brutal tahanan di penjara Cebongan, Yogyakarta beberapa tahun lalu, adalah salah satu buktinya. Pada titik inilah maka potensi untuk bentrok dengan Polri, yang juga memiliki struktur komando teritorial yang sama dengan TNI, menjadi sangat mungkin.

Kedua, ideologi Perang Semesta plus keberadaan struktur komando teritorial jelas membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk pembiayaannya. Di masa damai, dana-dana ini berasal dari sumber resmi seperti tercantum dalam APBN, tetapi juga berasal dari dana-dana siluman, baik dalam bentuk keterlibatan TNI (terbuka maupun terselubung) dalam bisnis, perlindungan bisnis TNI terhadap usaha-usaha korporasi, serta praktik korup para panglima dan prajuritnya. Jelas saja bahwa hal yang sama dilakukan oleh Polri, sehingga memunculkan konflik kepentingan dan akhirnya berujung tawuran di antara keduanya.

Ketiga, lima belas tahun setelah reformasi kita dapati fakta bahwa seluruh tindakan-tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kedua institusi ini, terutama TNI, tidak bisa dibawa ke wilayah hukum sipil. TNI menganggap bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan anggotanya hanya bisa diadili di pengadilan militer, walaupun pelanggaran tersebut berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan urusan militer, seperti perang. Ketika prajurit TNI menembak mati warga sipil yang tidak berdaya, maka si prajurit tidak bisa dibawa ke pengadilan sipil. Ketika TNI melakukan tindakan korupsi, maka pihak KPK tidak bisa melakukan tindakan penyelidikan terhadapnya. Ketika Kompolnas menengarai terjadi praktik korupsi di tubuh Polri, lembaga ini langsung bereaksi negatif dan hendak mengkriminalkan anggota Kompolnas Adrianus Meliala, yang pertama kali mengangkat isu itu.

Intinya, dalam lima belas tahun reformasi ini, bisa dikatakan kita tidak sepenuhnya berhasil mengontrol lembaga TNI dan Polri agar tunduk pada politik sipil. Kondisi ini diperparah dengan performa para politisi sipil dan partai politik yang sangat buruk. Akibatnya, reformasi di tubuh TNI-Polri berjalan tersendat-sendat tidak hanya akibat perlawanan dari kedua institusi ini, melainkan juga akibat ketidakbecusan partai politik dalam mengelola kehidupan politik sipil. Tawuran TNI vs Polri, dengan demikian adalah cerminan dari masalah politik nasional yang terjadi selama ini.
Sumber : indoprogress.com

Friday, June 27, 2014

“Ketika Sejarah Berseragam”, Mengungkap Sejarah Indonesia Versi Tentara



Cover Buku


Publikasi mengenai kiprah militer dalam kancah politik Indonesia bukanlah hal baru. Belakangan, semenjak reformasi bergulir buku-buku bertema militer di pasaran selama Orde Baru banyak beredar di pasaran. Tetapi, buku ini memberi sudut pandang berbeda terhadap peran militer dalam memanipulasi sejarah yang selama 32 tahun diyakini benar. Menurut buku ini, sosok di belakang pemanipulasian sejarah itu adalah Nugroho Notosusanto.

Sebagaimana sering kita baca, keberadaan militer dalam kancah politik Indonesia mempunyai posisi yang unik. Hal ini disebabkan rakyat sendirilah yang menciptakan militer Indonesia, di samping setelah pemimpin sipil banyak ditangkap dan diasingkan Belanda pada tahun 1948 militer menempatkan diri sebagai pemimpin nasional.

Atas dasar itu, militer mempunyai klaim yang kuat dan memperoleh pengesahan dalam waktu lama memainkan peran dwifungsinya dalam kancah pertahanan dan politik. Tak heran, pasca-1965 militer berubah menjadi kekuatan yang menggurita dalam setiap sektor kehidupan, sehingga militer pada masa Orde Baru tak ubahnya sebuah negara dalam negara.

Dominasi militer tidak hanya tampak dalam hal-hal yang fisik, tetapi juga mempunyai peranan yang kuat mengonstruksi alam bawah sadar massa rakyat Indonesia sehingga ingatan kolektif rakyat terkendalikan oleh nalar militer sehingga mempengaruhi tingkah laku sebagian rakyat untuk menciptakan bayangan diri sebagai mirip kaum militer.

Katharine berpendapat, sejarah di masa Presiden Soekarno menjadi sarana propaganda untuk berbagai kepentingan, namun di bawah Presiden Soeharto sejarah menjadi titik pusat upaya mendukung rezim dan militer. Setelah melalui serangkaian penelitian sejarah terhadap teks-teks sejarah yang beragam, film, museum, buku ajar, dan latihan-latihan indoktrinasi terdapat satu nama yang sering muncul, yakni Nugroho Notosusanto.

Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru. Dia tidak hanya memproduksi dan mengkonsolidasi terbitan resmi usaha kudeta 1965 yang menjadi dasar legitimasi Orde Baru, tetapi sebagai Kepala Pusat Sejarah ABRI (1965-1985) dan sebagai Menteri Pendidikan dia juga, tanpa lelah, menyebarluaskan kepahlawanan melalui museum, doku-drama dan dalam buku pelajaran (hal. 75).

Ciri dari historiografi nasional yang dibentuk selama masa Orde Baru adalah sentralitas negara yang diejawantahkan oleh militer. Sejarah nasional disamakan dengan militer dan produksi sejarah dikendalikan oleh negara dan militer. Beberapa dampaknya cerita tentang revolusi nasional akhirnya memfokuskan pada peran menentukan dari militer dengan menyingkirkan pelaku sejarah yang lain.

Menurut versi ini, sepanjang periode tahun 1950-an militerlah yang menyelamatkan bangsa ini dari disintegrasi dengan mengabaikan fakta bahwa militer memainkan peran penting dalam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sejarah versi militer seputar pemberontakan 1965 menjadi legitimasi dan alasan kuat naik dan bertahannya Orde Baru di bawah topangan militer selama 32 tahun.

Militer Indonesia mempunyai peran yang strategis karena menempati posisi tinggi dalam masyarakat oleh peran ganda mereka dalam pertahanan dan sosiopolitik. Militer, khususnya Angkatan Darat menikmati kedudukan istimewa dalam bidang politik nasional sejak pertengahan tahun 1950-an dan karena itu merupakan kekuatan yang paling siginifikan dalam sejarah Indonesia baru.

Pemberlakuan keadaan darurat 1957 dan 1963 serta konsep jalan tengah AH Nasution yang mengajukan konsep gabungan pertahanan dan sosiopolitik atau dwifungsi semakin menegaskan peran militer. Setelah upaya kudeta 1965 yang memicu terjadinya pengambil alihan kekuasaan oleh militer, dwifungsi militer disahkan dan lebih banyak lagi personel militer dipindah ke posisi-posisi kunci dalam pemerintahan.

Katharine memusatkan kajian sejarahnya pada museum karena militer menekankan sejarah lewat gambar sebagai suatu sumber untuk menyampaikan sejarah. Dalam buku petunjuk hasil dari seminar ABRI tahun 1997, Nugroho menulis, “di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kebiasaan membacapun masih sedang berkembang, kiranya histori visualisasi masih aga efektit bagi pengungkapan identitas ABRI”.

Akhirnya, salah satu pesan paling jelas dan diketahui umum adalah kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah hisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme.

Kehadiran buku ini menarik karena memberikan tambahan kepustakaan dari sudut pandang berbeda mengenai kiprah militer dalam politik Indonesia. Paling tidak, kehadiran buku ini menjadi catatan berharga bagi semua anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahan seperti 32 tahun Orde Baru.

[Paulus Mujiran, Koordinator Riset The Servatius Society Semarang]



Judul : Ketika Sejarah Berseragam, Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia
Penulis : Katharine E McGrego
Penerjemah : Djohana Oka
Penerbit : Syarikat, Yogyakarta
Tahun : 2008
Tebal : 459 halaman 




Wednesday, June 4, 2014

Luas dan Mahalnya Rumah Prabowo Di Hambalang


Prabowo Subianto, Ketua umum Partai GERINDRA dan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus) ini adalah salah satu kandidat calon Presiden di Republik ini. Prabowo juga dikenal sebagai pengusaha, hingga asetnya tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu aset yang paling banyak dibicarakan publik saat ini adalah rumah kediamannya di daerah Hambalang Bogor yang sangat luas. 
Prabowo Subianto

Kawasan Terpencil Seluas 4,8 Hektar
Pada tahun 2001, pengusaha kelahiran 17 Oktober 1951 ini membeli tanah seluas 4,8 hektar di Desa Bojong Koneng, Babakan Madang, Hambalang , Bogor, Jawa Barat, tiga tahun setelah ia dipecat dari militer.

Untuk menuju ke kawasan tersebut, dari Tol Jagorawi keluar dari pintu tol Sentul Selatan. Setelah itu menempuh jalan berkelok ke arah Babakan Madang menuju Perumahan Sentul City. Dari perumahan elit tersebut, masuk ke perkampungan Gombong, Desa Bojongkoneng, lalu mengikuti jalan utama dengan bebatuan yang mendaki (sebagian jalan telah beraspal) dan terus sampai di puncak bukit Hambalang.
  
Sampai di puncak bukit, akan ditemukan sebuah area “padepokan” seluas 4,8 hektar yang sangat asri dan jauh dari pemukiman penduduk. Rumah ini dulunya milik Jenderal Istarto Iskandar, mantan Pangdam Diponegoro dan sudah ada sejak tahun 1990-an. Pada tahun 2004, Prabowo membangun kembali area ini dan direnovasi tahun 2008.

Rumah ini dibuat berteras, mengikuti kontur perbukitan yang terhampar di punggung perbukitan. Dibagian depan, terdapat dua  buah gerbang kayu setinggi 2,5 meter yang yang terlihat kokoh. Sementara, di sekeliling gerbang kayu terdapat pagar tembok sepanjang 10 meter.

Bagian Depan Dengan Pagar Tembok


Penjagaan ala Militer
Rumah ini memiliki penjagaan cukup ketat. Gerbang yang pertama dijaga oleh empat orang petugas tegap berseragam rapi, yang mengecek setiap tamu. Dari gerbang ini tamu melintasi jalan berbelok menanjak, yang di satu sisinya dijadikan area penanaman cabai. Gerbang kedua yang berjarak 200 meter dari gerbang pertama dijaga oleh dua petugas dengan penampilan serupa. Mereka menghormat dengan sikap sempurna saat mobil tamu melintas.  Petugas-petugas tersebut didampingi juga oleh 5 ekor anjing pelacak.

Setelah masuk melalui gerbang-gerbang tersebut, terdapat jalan setapak yang menanjak sekitar 500 meter menuju bangunan utama melewati helipad dan ranchyang ditumbuhi rumput hijau, tempat beberapa kuda berlarian. Di kejauhan, terlihat deretan bukit.

Penjagaan Bagian Depan Rumah Prabowo


Penjagaan Dilengkapi Anjing Pelacak


Berbagai Macam Fasilitas
Sebuah bangunan utama dominan batu bata merah tampak berdiri megah. Bagunan tersebut sambung menyambung hingga ke belakang. Pada bangunan utama ini, dilengkapi juga perpustakaan, kolam renang air panas, meja bilyard, pendopo kayu jati, plus rumah untuk belasan kudanya

Rumah ini memiliki pendopo dengan desain tradisional Jawa yang sangat kental, mengingat Prabowo yang berdarah campuran Sulawesi dan Jawa, dibesarkan dengan tradisi dan pemikiran Jawa. Di bagian halaman, rumput tertata dengan asri, dilengkapi jajaran pepohonan pinus.

Di bagian sudut lainnya, ada helipad tempat mendarat helikopter pribadinya yang cukup jauh dari rumah utamanya. Prabowo biasanya naik mobil Lexus putih saat menuju helipad sebelum akhirnya naik helikopter di dalam kompleks rumahnya itu.

Rumah Yang Asri


Helipad Untuk Helikopter Pribadi


Pendopo Dengan Arsitektur Jawa




Area Parkir Untuk Mobil Kesayangan



Berkebun Dan Berternak
Selain sebagai tempat tinggal, rumah ini juga digunakan Prabowo untuk kegiatan lain seperti menyalurkan hobi nya. Prabowo hobi berkuda. Terdapat dua buah istal (kandang kuda) sebagai rumah bagi 17 kuda istimewa berjenis Lusiano yang didatangkan langsung dari Portugal. Harga per ekornya tak tanggung-tanggung, konon mencapai miliaran rupiah. Untuk mengurus kuda-kuda mahal itu, didatangkan petugas khusus yang ahli di bidangnya.

Melengkapi hobinya berkuda, beberapa lapangan terbuka juga tersedia untuk latihan. Ada juga satu arena pacuan tertutup yang dialasi pasir putih. Arena pacuan terbuka terdapat di bagian depan dan belakang rumah. Sementara, pacuan tertutupnya ada di samping taman depan. Tempat ini  biasa juga digunakan untuk latihan para atlet berkuda Indonesia.

Prabowo Dan Kuda


Selain kuda, ada juga kandang khusus hewan lainnya seperti kambing, sapi dan elang.

Prabowo Memberi Makan Elang

Peternakan Kambing Milik Prabowo


Peternakan Sapi Milik Prabowo


Di area ini juga terdapat area perkebunan mulai dari pisang, cabe, tomat, kacang tanah, daun bawang, timun, dan semacamnya. Tapi bukan untuk dijual. Kalau pas panen dibagikan ke warga. 


Perkebunan Di Dalam Area Rumah Prabowo

Untuk mengurus area sebesar itu, Prabowo mempekerjakan warga sekitar. Mulai dari kebersihan hingga keamanan.

Bagian Belakang Rumah Prabowo
Kisaran Harga Rumah Prabowo
Principal Indohouse Indonesia, broker properti wilayah Bogor, memberikan gambaran harga lahan dan properti milik Prabowo Subianto di wilayah Hambalang, tepatnya Bojong Koneng, berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 160.000 per meter persegi. Jika mengacu harga aktual, maka nilai aset lahan dari sang  mantan Jenderal Kopassus tersebut sebesar Rp 38,4 miliar. Angka ini di luar nilai bangunan dan aset didalmnya seperti ternak, kebun, kendaraan dan lain-lainnya.

Sumber :

http://news.detik.com/read/2014/04/12/073737/2553019/10/melihat-luasnya-rumah-prabowo-di-hambalang-jabar


Saturday, November 23, 2013

Polisi langgar lampu merah tabrak pemotor, motornya ditilang!

Polisi lalu lintas yang mengendarai mobil patroli Gakkum (Penegakan Hukum) menabrak pengendara motor dan ibu pejalan kaki di perempatan Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Disinyalir, polisi tersebut melaju kencang untuk menghindari lampu merah.

"Lampu lalu lintas di perempatan Soekarno-Hatta dari Jalan Gatot Subroto sudah warna kuning, ada sepeda motor berjalan pelan tetapi mobil polisi yang ada di belakang motor tersebut malah melaju kencang. Akibatnya, mobil polisi itu menabrak pengendara motor dan ibu pejalan kaki yang hendak menyeberang. Saya foto karena saya ada di belakang mobil polisi itu," ujar saksi Widdy Mochammad kepada merdeka.com, Jumat (22/11).

Widdy menuturkan, akibat tabrakan tersebut, pemotor tersungkur dan ibu pejalan kaki terjerembab. Polisi yang mengendarai mobil itu, lanjut dia, turun dan membawa ibu tersebut ke pinggir.

"Saat pemotor mengangkat motor, ternyata kuncinya dibawa oleh polisi penabrak tersebut. Malah pemotor yang taat lalu lintas itu disuruh ke pospol dekat situ untuk ditilang," jelas dia.

Akibat kejadian tersebut, arus kendaraan di lokasi kejadian sempat macet. "Karena takut menambah kemacetan, kemudian saya melanjutkan perjalanan. Terakhir saya lihat, ibu pejalan kaki masih berada di pinggir jalan," ujar dia.

Seperti diketahui, pengendara hendaknya memperlambat laju kendaraannya saat lampu lalu lintas berwarna kuning. Bukan sebaliknya, malah memacu kendaraannya. Karena bisa mengakibatkan kecelakaan lalu lintas.

Polisi tabrak pemotor dan pejalan kaki. ©2013


Reporter : Dedi Rahmadi | Jumat, 22 November 2013 14:21
Sumber   : merdeka.com